Misteri Kap Lampu dari Kulit Manusia
Kamis, 23 Februari 2017
Kap Lampu dari Kulit Manusia (sumber:nationalgeographic) |
Henderson yang langsung tertarik dan membeli lampu itu. Ia membawanya kepada seorang ahli yang mengatakan, “Binatang yang punya kulit ini tak punya bulu.” Sejak saat itu, benda tersebut menghantui pikirannya.
Henderson kemudian berinisiatif untuk menghubungi temannya yang bernama Mark Jacobson.Ia menerima telepon dari Henderson yang bercerita soal lampu itu. “Tapi itu bukan masalahku lagi,” kata Henderson. “Aku sudah mengirimnya kepadamu semalam.”
Kisah mengerikan tentang benda yang dibuat dari bagian tubuh manusia bukan hal asing bagi Jacobson. Sebagai seorang Yahudi, ia sudah mendengar banyak cerita tentang penyiksaan di Kamp Konsentrasi selama NAZI memimpin Jerman. Namun dari sekian banyak cerita, yang mungkin berkaitan adalah Kamp di Buchenwald yang brutal.
Sebagaimana dituturkan oleh harian Independent, sembilan hari setelah Buchenwald dibebaskan tentara sekutu, koresponden United Press International bernama Ann Stringer melihat lembaran yang digunakan sebagai kap lampu. Diameternya 2 kaki. Tingginya 18 inci. Lembaran itu terdiri dari 5 lembaran yang disatukan. Stringer yakin kalau lembaran itu terbuat dari kulit manusia. “Aku dapat melihat pori-porinya.”
Benda mengerikan itu ditemukan di rumah Ilse Koch, istri komandan pasukan SS Nazi, Kol. Karl Otto Koch. Oleh para tahanan, Ilse Koch dijuluki “Penyihir wanita dari Buchenwald”. Berdasarkan informasi yang ada, Ilse Koch memilih tahanan yang kulitnya bertato untuk dibunuh oleh kekasihnya, Dr. Walmer Hoven. Kulit itu nantinya digunakan untuk membuat lampu sebagai hiasan rumah.
Untuk mengecek kebenaran kaitan antara lampu yang kini ada di tangannya dengan kisah Buchenwald, Jacobson bertemu dengan Diane Saltzman, staf di United States Holocaust Memorial Museum. Kata Saltzman, selama 50 tahun tidak ada kap lampu yang terbukti benar-benar berasal dari Buchenwald. Tes DNA bisa jadi menunjukkan kap lampu itu benar-benar terbuat dari kulit manusia, tapi tidak menunjukkannya berasal dari Buchenwald atau dari kulit seorang Yahudi.
Selain itu, di museum juga terdapat foto dari Kamp Buchenwald beserta benda-benda yang terbuat dari bagian tubuh manusia. Salah satunya adalah lampu. Tapi bentuk lampu yang dimiliki Jacobson berbeda dari lampu yang terpampang di foto.
Tak puas dengan jawaban tersebut. Jacobson pergi ke El Paso, Texas, untuk menemui Albert G. Rosenberg. Dahulu Rosenberg adalah komandan tentara elit yang ikut memasuki Buchenwald pertama kali. Waktu itu ia sedang menuliskan laporan di meja. Seorang tahanan berkebangsaan Perancis mendekatinya dan berteriak bahwa Rosenberg tidak lebih baik dari orang Jerman. Barulah Rosenberg sadar, kap lampu yang ia nyalakan selama menulis dibikin dari kulit manusia.
Rosenberg menambahkan bahwa ia menyimpan sepotong kulit bertato yang ia dapatkan di Buchenwald. Kulit itu digunakan sebagai bahan topi yang dipakai seorang perempuan. Namun benda-benda seperti itu, tutur Rosenberg, punya pengaruh yang “tidak mengenakkan” bagi pemiliknya.
Jacobson pernah dinasehati oleh Michael Berenbaum, pakar holocaust, untuk menjauhi kap lampu itu. “Berada di dekat benda-benda semacam itu, berpikir tentangnya, bisa membuat orang gila. Aku akan menjauhinya sebisa mungkin.” Berenbaum juga mengaku pernah membawa tabung gas beracun yang pernah digunakan tentara khusus Nazi. Keberadaan tabung gas itu saja di garasinya, kata Berenbaum, “Cukup untuk mengirimku ke psikoterapi.”
Benar saja, pikiran Jacobson dipenuhi oleh bayangan tentang korban serta bagaimana kap lampu itu dibuat. Adegan-adegan mengerikan berputar di kepalanya. Tiba-tiba ia merasa terhubung dengan orang-orang yang mengalami kematian tragis. Tapi Jacobson merasa tidak mampu membuang benda itu. Sebagai penulis, ia merasa kebenaran harus disampaikan.
Belakangan, hasil tes lain menunjukkan kap lampu itu terbuat dari lemak sapi. Tentu saja, kesimpulan ini tidak menghentikan kontroversi, malah justru memperpanjangnya.